Tepat seminggu yang lalu, satu lagi teman melepas masa lajangnya. Yang awalnya hanya memiliki setengah, sekarang menjadi satu. Apanya? Agamanya. Menikah berarti memenuhi separuh taqwa nya. Terlepas siapapun ia, siapa keluarganya, darimana asalnya, apa agamanya; menikah adalah sesuatu yang sakral, lagi suci, antara manusia dan Tuhan. Karena itu dilaksanakan tidak main-main apalagi sambil bercanda. Dilaksanakan seakan-akan dihadapan Tuhan, padahal kita selalu berada dalam penglihatanNya.
Rasanya masih ngeri, bikin saya merinding, tapi juga sekaligus bahagia. Mengingat bagaimana saya melihat punggung sang mempelai pria, ketika akan memulai proses mengikat janji sehidup semati dengan anak perempuan dari seorang ayah, yang tangisnya sedang tertahan saat itu. Terlihat dari sorot mata sang ayah ketika menikahkan anak perempuannya yang terakhir. Berat, tapi tetap ada keikhlasan disana. Seakan memang itulah kewajiban terakhirnya sebagai seorang ayah, yakni memberikan restu. Ketika janji telah terucap, maka resmi sudah anak perempuan akan ditanggung segala dunia dan akhiratnya, oleh pria yang kini duduk dengan gagah dihadapan sang ayah.
Paduan doa dari para keluarga dan kerabat dekat yang menyaksikan, mengalun. Mengamini tiap baitnya. Berharap dengan satu tujuan, diberikan keberkahan untuk pernikahan pasangan ini. Tidak diragukan lagi untuk seseorang yang telah melihat teman nya menikah. Selain berfikir "kapan aku menyusul?", sekelebat kenangan yang sudah mereka lalui pun teringat kembali. Seperti film, sangat jelas terlihat kilas balik segala kejadian lampau. Naik dan turunnya. Bahagia dan sedihnya. Mulai dari jalan mulus, kerikil, hingga batu ada di jalan pertemanan ini. Teringat segala khilaf dan salah. Tangis bahagia pun tidak terelakkan. Teman mana yang tidak akan merasa haru?
Untukmu, Sang Mempelai Perempuan. Tidak ada harapan yang lebih tinggi lagi selain menginginkan pernikahanmu bertahan lama hingga maut memisahkan. Dijodohkan tidak hanya di dunia tapi abadi hingga akhirat. Segala tangis dan kegalauanmu yang lama, berhenti kini. Perjalananmu mencari seseorang untuk diajak berjalan beriringan di jalan yang satu, telah berakhir. Ada suamimu yang dikirimkan Tuhan disisimu. Kini, ada bahu tempatmu bersandar. Ada telinga tempatmu bercerita keluh kesah. Semoga bahagia.
(persis kayak gini nih kita berempat (minus 1 karena telat datangnya -_-) waktu dipelaminanmu)
No comments:
Post a Comment