Sunday, June 21, 2015

Catatan Ramadhan Hari Ini

"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (untuk jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Engkau mengenali mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kalian nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui" (QS. Al Baqarah (2) : 273)

Beberapa hari yang lalu, seorang remaja tanggung mengingatkan saya kepada suatu hal yang ada kaitannya dengan potongan ayat yang di bold itu. Anak itu mengingatkan bahwa harta yang selama ini kita usahakan setiap harinya, semata-mata hanya dari Allah. Dan kita punya kewajiban untuk menyedekahkan sebagian lagi di jalan Allah. 


Cerita hari itu dimulai ketika saya baru saja mau keluar kantor sebentar untuk suatu urusan. Baru saja saya keluar dari pintu keluar, tiba-tiba ada seorang anak menghampiri. Ia meminta saya untuk membeli korannya. Bukan hanya beli satu koran, tapi satu pak. Kira-kira isinya sekitar 10-20 koran. Ketika saya tanya, kenapa ia tidak jual saja koran-korannya itu ke pinggir jalan? Kenapa ia hanya menawarkan ke satu orang saja? Jawabannya cukup membuat saya berfikir. Katanya uang itu nanti ia akan belikan 1 pak buku tulis. Yang kira-kira isinya 10 buah buku didalamnya. Mendengar jawabannya, membuat saya berfikir dua kali. Benarkah yang ia katakan, atau ini hanya akal-akalan saja? Karena saya agak ragu, lalu saya hanya membeli 1 korannya. Sedikit ada raut kecewa saya lihat dari anak itu ketika menerima uang. Lalu, ia pergi. Ia kembali duduk di pekarangan kantor. 

Cukup lama saya hanya duduk merenung di dalam mobil, hingga saya teringat kembali dengan belanjaan dari shop-online yang baru saja datang kemarin. Mengapa setiap ingin belanja baju, sepatu, tas, kita tidak pernah sedikitpun ragu untuk mengeluarkan uang? Tapi, ketika seorang anak yang tidak mampu datang meminta belas kasihan, kita malah meragukan malah mencurigainya macam-macam? Padahal, setidaknya, anak tadi tidak mencuri. Atau bekerja pekerjaan yang haram. Ia hanya meminta sedikit uang ekstra untuk harga korannya. Mengapa kita masih ragu?

Kita selalu mampu beli bermacam-macam gadget harga belasan juta. Tapi, mengapa kita tidak mampu untuk membeli koran dari seorang nenek tua dipinggir jalan? Kita mampu beli makanan dari restoran berkelas, tapi menyisihkan uang untuk pengemis, kita tidak bisa? 

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa kebanyakan pengemis, gelandangan, dan orang yang tidak mampu, semakin hari jumlahnya semakin bertambah dan bertebaran dijalanan. Tidak sedikit juga dari mereka malah memanfaatkan "pekerjaan" ini sebagai sumber uang. Bukan lagi karena dipaksa oleh situasi dan kondisi ekonominya. Bukan tidak mungkin hal ini membuat sebagian orang ragu untuk bersedekah kepada mereka yang mencari uang dijalanan. 

Lalu, bagaimana sikap kita? Dengan adanya fenomena sosial seperti itu, haruskah kita tetap memberi atau tidak? Kalau kita memberi, sama saja dengan memberikan ia kemudahan dengan pekerjaannya sebagai peminta-minta, dan akan memotivasi ia untuk menjadi pengemis saja. Tapi, jika kita tidak memberi, bukankah Rasulullah meneladankan untuk bersedekah kepada peminta-minta? Dilema, kan?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus tahu diri. Selama ini kita mencibir, mengeluhkan bahkan meragukan "ketidakmampuan" para gelandangan itu. Tapi, apa yang kita sudah lakukan untuk turut berkontribusi demi mengubah kehidupan mereka semua? 

Ketika kita memutuskan untuk turut bersumbangsih dan melakukan langkah besar, misalnya mendirikan kursus, khusus mendidik serta mengajarkan mereka ketrampilan yang berguna untuk mereka bekerja. Mungkin dengan tidak memberikan mereka uang dijalanan, bisa menjadi keputusan bijak. Tapi, kalau sudah tidak tahu menyelesaikan solusinya atau tidak berkontribusi apa-apa, lantas tidak memberi uang juga. Sama aja bohong, kan?

Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita lakukan selain memberi uang. Tapi, jika kita merasa belum bisa melangkah sejauh itu, kecuali hanya dengan memberikan uang, maka lakukanlah itu karena Allah memang perintahkan untuk itu. Mengasihi mereka yang tidak punya. Bersedekah kepada mereka yang tidak mampu. Apakah sedekah itu akan disalahgunakan atau tidak, bukan lagi urusan kita. Sudah menjadi persoalan antara si pengemis dan Allah saja. Itu akan menjadi pertanggungjawaban mereka kelak. Tugas kita, hanya memberikan dengan niat ikhas karena Allah. Juga tidak berburuk sangka kepada mereka. Tidak perlu pusing dengan hal lain. Melainkan hanya memberi. Itu saja.

"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" (QS. Al Baqarah (2) : 195)

Lagipula, rezeki selama ini bukan sepenuhnya milik kita. Bukan pula seluruhnya karena hasil kita sendiri. Itu kan semata-mata hanya Allah yang kasih karena kita berusaha, bekerja. Kita hanya disuruh tawakkal, bukan malas-malasan. Kalau misalnya pekerjaan kita bisa menghasilkan uang. Semata-mata hanya karena Allah baik sekali memberikan. Dan mengamanahkan harta itu kepada kita. Karena kelak kita akan ditanya dan ditagih pertanggungjawabannya, kira-kira untuk apa semua harta itu kita gunakan?



1 comment:

  1. Cinta itu, tidak ada yang diharapkan kecuali kebaikan. Kita memang tidak sepenuhnya tahu, apa yang terbaik untuk mereka. Namun setidaknya kita tanamkan niat. Ketika kita memberi maka semoga membawa kebaikan dan manfaat baginya. Demikian pula ketika memutuskan untuk tidak memberi karena hati kecil kita berkata itu lebih baik untuknya. Semoga Allah memberikan yang lebih baik bagi dirinya.

    ReplyDelete

Day 10: Your Bestfriend

Di bangku SD, sahabat saya ada dua orang. Mereka adalah teman sekelas dan teman satu mobil jemputan. Kami bahkan tidak tahu apa itu sahabat....