Baru saja saya selesai membaca sebuah tulisan yang dimuat dalam sebuah blog, milik seorang pegawai kementerian sama seperti saya, yang sepertinya baru penempatan definitif. Jadi dia belum lama bekerja di kementerian ini. Tidak, saya gak akan share linknya disini. Saya juga gak bakal mencoba membantah semua isi tulisannya sekarang. Karena yah, well, saya juga belum bisa ngomong banyak apa-apa. Lagian, her writing is her own opinion. And everyone has right to speak theirown opinion out. Tapi, saya agak merasa sedikit kecewa dengan si Penulis.
Seperti yang saya bilang tadi, semua orang punya hak untuk bersuara. Tapi, kayaknya mesti sesuai tempat dan keadaan juga deh. Apalagi ini media sosial, khususnya blog, anda bisa bicara banyak dan lengkap dengan blog. Semua orang bisa baca. Belum lagi kalau konteks tulisannya kontroversial, penuh akan kritik, pasti link-nya disebar kemana-mana. Your writing gonna be spread out faster than when you wrote that.
Apalagi tulisan itu jelas membahas tentang apa dan siapa. Lagipula, yah lihat diri juga sih, pantas gak kita bilang A, bilang B. Emang kita sendiri sudah berbuat banyak dalam hal apa. Emang kita sudah besar mau menuntut yang lebih juga? Kalau sudah merasa berarti banyak, sudah melakukan kewajiban tapi merasa hak tidak begitu terpenuhi , wes monggo.. Tapi, kalau tidak? How?
Kemudian, kalau misalnya memang gak bisa nahan diri untuk tidak protes atau kritik, coba deh dicurhatin aja uneg-unegnya langsung sama yang "berkewajiban buat mendengar anda", sama "sasaran" kritikmu itu, baik itu lisan atau tulisan. Lagian kalau ditulis di social media, masalah juga gak bakal selesai kan? Memang sih ngomong langsung juga belum tentu bisa nyelesein semuanya, tapi setidaknya kita mungkin bisa meminimalisir resiko lebih besar yang kemungkinan muncul akibat kritikan kita itu. Yang ada juga kalau koar-koar di social media, kita sendiri malah kelihatan makin jelek. Orang lain bisa mikir "ooh gitu doang..". Kalau gak didengar, si Penulis pasti punya pilihan yang lebih baik daripada menulisnya di social media. Lihat sekeliling, ada berapa banyak orang yang saling membenci, membuat masalah hanya karena secuil b tulisan di socmed? Jangan mau diadu domba sama socmed (socmed iki sopo seeh? Bandel amat..hehe (,^^))
Perhatikan juga bahasanya. Cara menulisnya. Kalau lisan sopan atau gak dibedakan dengan intonasi, tulisan dengan diksinya. Pemilihan katanya. Buat tulisan kritikan penuh amarah itu menjadi sebuah tulisan kritik tapi kelihatannya yang membangun. Maksudnya, mungkin bisa dicantumin juga sekalian saran-sarannya gitu. Biar kelihatannya kritiknya anggun. Minimal, menulisnya jangan pake bahasa kasar atau kelihatan mengancam. Pakai bahasa yang baik. Tulis saja apa yang orang lain perlu baca, bukan apa yang orang lain ingin baca.
Yah, tulisan ini cuma buat saran aja lho buat kita yang suka tebar kritik di social media. Just sharing my basic thoughts, bahwa menulis sama dengan berbicara, butuh pemikiran dan pertimbangan. Perlu ditakar bagaimana baik dan buruknya. Apalagi kalau mengenai orang lain. Apalagi dibaca banyak orang juga. Jadi, bukan hanya sekedar meracau lewat kata-kata. Hati-hati. Tidak hanya lisan, tapi juga tulisan, yang bakal jadi repetation (perulangan) dalam kehidupan si Penulis. Dan menentukan siapa dirinya. Teorinya sih yang masuk baik-baik, bakal keluar yang baik juga. Begitu juga kalau buruk, sebaliknya. Akan begitu terus sepanjang kehidupannya sehari-hari. Akan menentukan bagaimana seseorang menjalani kesehariannya.
Coba kita belajar untuk lebih menjadi pemilih. Mana yang lebih banyak manfaatnya, mana yang lebih banyak mudharatnya. Semoga dengan konsep dasar seperti itu, bisa membuat kita jadi lebih bijak, menahan dan menjauhi diri dari yang buruk-buruk. Wallahu a'lam..
No comments:
Post a Comment