Day H-1 Registrasi
Menginjak kaki di kota Jakarta bersama dengan 15 orang lainnya, bikin gue bisa secara pribadi merasa excited, karena gue bisa ketemu lagi dengan teman-teman sekelas yang unyu (hoeeeek..) semasa kuliah dulu. Tapi, sekaligus gue juga merasa mules males. Mengingat lagi cerita-cerita pembantaian pada saat diklat dari para senior yang notabenenya sudah duluan mengikuti DTU ini. Menginjak kota Jakarta H-1 sebelum hari diklat, diawali dengan sibuk mengurus berkas untuk Registrasi dan akan dibawa ke KPDJP. Agak beruntung juga bisa berangkat penerbangan pagi, biar sampai ke Jakarta bisa agak siang. Apalagi batas waktu registrasi ini cuma sehari. Parno aja kalau telat kesana karena macet. Takut aja tersesat dan tak tahu arah jalan pulang gara-gara gak tahu jalan. Hiks.
Sepulangnya dari KPDJP, gue bersama teman-teman memutuskan untuk menikmati sisa hari sebelum pembinasaan dimulai besok. Ada yang langsung singgah makan Thai-Food. Ada yang makan di Waro*eng Steak n' Shake di dekat hotel kami nginap. Ada yang singgah di mall, cuci mata sampai malam. Hari itu kami semua bisa ketawa-ketawa. Gak tau aja kalau besoknya kita bakal diapain. Gue sendiri lebih memilih untuk makan malam sebentar di rumah makan terdekat dan langsung pulang ke hotel. Mandi sepuasnya. Lalu, tidur dibawah selimut hangat. Malam itu, sambil menatap langit-langit kamar, gue sangat berharap. Gue bisa bangun dan hari sudah tanggal 5 Desember 2014.
Day 1 Keberangkatan ke Lido, Sukabumi dan Upacara Pembukaan
Sesuai dengan instruksi, keberangkatan menuju lokasi diklat dimulai dari Pusdiklat Pajak. Berangkat bareng-bareng naik bus dengan 800-an orang lainnya. Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya sampai lah kita di sebuah resort. Yah penginapan gitu. Sayang bukan nginap disini, ini cuma persinggahan buat tes kesehatan. Setelah dinyatakan sehat fisik dan kejiwaan oleh para tim dokter pemeriksa, perjalanan ke lokasi asrama perkemahan pada saat diklat dilanjutkan dengan jalan kaki. Lumayan jauh, bikin betis pegal ngilu gimana lah ya dengan rute jalan utama yang agak mendaki dengan diguyur hujan gerimis nan syahdu serta iklim dingin ala pegunungan yang menggigit, hingga sampai ke sebuah lokasi hutan pinus di sebuah dataran tinggi lengkap dengan danau.
Gue sebenarnya benar-benar gak peduli bakal diapakan pas sampai disini. Karena gue tau, disini gue gak mungkin bakal dibiarin leha-leha, santai ongkang-ongkang kaki doang. Gue bener-bener berusaha siap sejak pengumuman Hunger Games ke 2 DTU ini tiba-tiba keluar. Gue mengomel dan mengeluh sekarang gak ada gunanya lagi. Gak bisa balik pulang lagi dan berharap status PNS gue bisa baik-baik aja entar. Gak bisa melakukan apa-apa lagi selain ikut dan pasrah.
Selama 10 hari, kegiatan diklat hampir seluruhnya akan dilaksanakan di sebuah lapangan. Kira-kira luasnya seperti lapangan golf. Dengan ujung timurnya (tempat matahari terbit), dapat dilihat rimbun pepohonan. Dan sebelah barat (tempat mataharinya tenggelam), kita bisa lihat Gunung Salak beserta pemukiman penduduknya di kakinya. Sebelah utaranya ada sebuah gedung (katanya) Rehabilitasi BNN dan sebelah selatannya hanya ada semak-semak. Entah apa yang ada dibalik semak-semak itu.
Pembukaan secara resmi dilakukan layaknya sebuah upacara dan kami dibagi menjadi 4 kompi. Kelas gue ada di kompi 2. Belum apa-apa kami sudah diguyur hujan deras dan angin. Jadilah kami mengikuti acara upacara pembukaan dengan baju basah serta tangan dan bibir putih pucat karena kedinginan hingga malam datang. Gak ada perintah untuk berteduh maka kami tetap berbaris disitu sampai upacara pembukaan selesai. Dan setelah pembukaan, kami resmi menjadi siswa. Yang artinya adalah seluruh hidup selama diklat disini, ada ditangan para pelatih.
Day 2-3 Minggu Penyegaran
Hari "bahagia" ini diawali dengan alarm TOA pukul 03.30 dini hari yang membangunkan seluruh pasukan siswa. Kegiatan hari itu dimulai dengan senam stretching yang dipimpin oleh seorang pelatih. Senam dilakukan disebuah lapangan berumput lagi, yang lokasinya ada di dekat perkemahan tempat para kami semua bermukim. Kami semua melakukan senam dengan semangat walaupun mata masih merem-melek. Cuaca masih sangat dingin dan hari masih gelap. Mungkin karena sangat kedinginan dan badan kami belum terbiasa untuk suhu seperti ini, makanya kami semua terpaksa mau tidak mau harus bergerak, biar suhu tubuh kami bisa lebih hangat. Perintah sikap lilin, sit-up dan push-up berkali-kali pun pertama kali dilaksanakan di kegiatan ini. Oh yeah..great. Diklat ini bakalan "menyenangkan"
Untuk makannya disini, pakai jasa catering. Jadi, makanannya dibagikan dalam bentuk kotak bekal gitu. Dalemnya udah lengkap ada nasi, lauk pauk, serta sayurnya. Lengkap tiga kali sehari. Plus ada extra-fooding (snack) dua kali sehari. Tiap jam 10 pagi dan tiap malam sebelum apel malam berlangsung. Makanannya kadang enak, kadang gak. Apapun itu tetap disyukurin daripada gak makan. Tapi, ada satu hari dimana menunya adalah jamur. Gue juga gak tau itu jamur dimasak apa. Yang jelas warnanya putih pucat. Lidah gue sebagai orang Makassar yang emang dasar ndeso gak pernah makan jamur, menolak mentah-mentah makanan itu masuk ke dalam mulut. Jujur aja, gue disana jarang banget makan sayurannya. Entah kenapa rasanya selalu aneh dan kadang setengah matang. Itu sebabnya gue tulis lebih banyak kritik tentang kateringnya pada saat diklat hari terakhir. Kalau udah gak makan gitu, biasanya gue oper aja ke teman-teman cowok sekelas.
Selama tiga hari ini juga, kegiatan diisi dengan kegiatan outdoor seperti PBB yang bikin betis-betis kembali gempor dan bentuknya semakin tidak indah. Bolak balik berbaris. Hadap kanan-kiri sampai kepala gue pening. Berkali-kali jalan ditempat. Serta melakukan kegiatan-kegiatan outdoor lainnya, yang rincinya gue udah gak begitu ingat, selain kegiatan merayap, guling-guling, tiarap, sit up, push up serta lari-lari cepat karena instruksi para pelatih.
Jujur aja, gue udah gak begitu ingat rinci kegiatan gue selama 10 hari itu apa. Kalau ditanya, apa hikmah yang bisa gue petik dari kegiatan ini, mungkin gue masih mikir. Gak ada pengalaman yang lebih membekas dari diklat ini, selain perasaan gue saat melakukan guling-guling pertama kali. Gue gak pernah ikut latihan fisik separah ini. Prajab dulu pun, masih belum ada apa-apanya. Mungkin beberapa dari kami pernah dan bisa melakukannya dengan biasa, tapi tidak dengan gue.
Masih jelas terasa perasaan mual gue ketika harus berguling di lapangan yang keadaan tanahnya gak rata alias berbukit. Jangan fikir berguling itu gampang. Setidaknya tidak di tanah berbukit seperti ini. Rasanya emang berputar dan bikin mual. Bumi seakan berputar mengikuti gulingan kami *alaaah*. Belum lagi kami gak bisa mengendalikan badan kami ketika berguling. Tau kan gimana kalau kamu menggulingkan pulpen misalnya dari sebuah tempat tinggi ke tempat rendah? Bayangin aja itu badan kamu diatas lapangan berbukit. Berguling dan tanpa arah yang jelas dan gak lurus. Saling bertabrakan. Gue sangat yakin self-control gue gak bagus dalam berguling.
Habis itu, penderitaan gak sampai disitu aja. Tiap kali kami sudah sampai di tanah lebih rendah, selesai berguling, kami disuruh lagi merayap secepat mungkin menuju tempat awal kami mulai berguling. Kalau guling itu kebawah, maka merayap ini kami seakan menuju keatas. Dan ini sama sulitnya karena pengaruh gravitasi dan berat badan kami yang memang berat . Gak peduli mau siku dan lutut udah mulai lecet dibalik pakaian, kami harus cepat. Jangan mau jadi yang paling terakhir. Selesai merayap, kami disuruh berguling lagi. Gitu aja terus sampai bego muntah, isi perut keluar semua.
Gak sedikit dari siswa maupun siswi yang mesti ambruk (beberapa ada yang pingsan) gara-gara instruksi kombinasi guling-merayap-guling-merayap di tiga hari pertama ini. Untuk siswi, kami kompak sepakat harus muntah dipinggir lapangan. Dibawah pohon kek, dekat semak-semak kek. Biar teman-teman lain gak ada yang kena bekas muntahan kami. Meskipun ada yang khilaf. Iya, khilaf..
Sedangkan para siswa, mutlak disuruh muntah ditempat kalau ada yang pengen muntah. Sekilas gue lihat mereka dari sisi lapangan yang lain, perjuangan mereka lebih biadab. Instruksi mereka pake tiga kombinasi, guling-merayap-jungkir balik. Dengan kepala botak, mereka berjuang mengikuti instruksi jungkir balik secepat mungkin. Jangan tanya apakah ada kepala yang kena bekas muntahan atau gak. Iyuh. Alhasil, dari ujung kepala sampai ujung kaki mereka, sama-sama punya "peluang" untuk kena "ranjau". Rame-rame lah kami semua pasukan melaksanakan semua instruksi kejam itu (pasukan siswa dan siswi dipisah, jadi tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan) dengan lapang dada. There's nothing we can do.
Gue sendiri gak mau sok kuat disini, karena bukan saatnya lagi sombong siapa yang lebih kuat di diklat ini. Karena kita ngurusin badan masing-masing. Sakitnya juga sendiri-sendiri. Deritanya rasa sendiri kalau niat tetap memaksakan diri. Jadi gue niatnya emang melakukan instruksi ini semampunya dan sekuatnya. Kalau gak mampu, lambaikan tangan ke kamera.
Semakin malam, kegiatan semakin "menyenangkan". Pada malam kedua, tidak seperti malam kemarin, para pelatih dan panitia sibuk mondar-mandir, bisik-bisik tetangga, dan beberapa ada yang memanggul ransel. Sepertinya kami akan dibawa pergi ke suatu tempat. Benar saja, malam itu kami diajak "jalan-jalan" menyusuri jalan dibalik rimbun pepohonan sebelah timur lapangan. Jalan udah jauh banget, kami masih gak tau pasti akan dibawa kemana. Curiga penuh curiga, gue pikir bakal dibawa ke danau, untuk di "ruqyah" dengan "air suci" danau Lido. Untung gue lagi pakai sepatu terjelek, just in case untuk benar-benar dibutuhin buat kotor-kotoran di area berlumpur. Yaa..lumpur danau, misalnya. Sengaja gue pake untuk tiga hari pertama, kalau-kalau gue harus menghadapi "skenario " terburuk diklat ini, seperti yang para senior ceritakan sebelumnya.
Jalan jauh itu ternyata berujung lagi di lapangan awal tempat kita start. Rasanya agak melegakan, karena gak ada main-main di danau malam ini. Tapi, rasa-rasanya kok hari itu berakhir begitu saja. Jelas tidak. Malam ini, kami di perintahkan lagi untuk tidur di lapangan. Diatas rumput basah habis hujan, dibawah langit malam penuh bintang. Dengan suhu lingkungan yang semakin malam, semakin dingin dan brutal. Gue gak peduli lagi. Gue hanya berharap semoga gak ada yang bronkhitis gara-gara ini. Terserah aja kalau mau tidur di lapangan atau di tenda, gue cuma tau kalau ini betis butuh istirahat. Itu aja. Alhasil, belum sampai dua menit gue baring di lapangan, gue udah gak ingat apa-apa lagi.
Tiga hari pertama itu lumayan bikin gue frustasi pada awalnya. Pengen teriak "BAWA GUE PULANG SEKARANG, PAAAAAK!!!". Kabar diklat "the first three-day is the hardest part" adalah benar adanya.
Bersambung..
No comments:
Post a Comment