Buku-buku di atas meja belajar sudah mulai berdebu. Walaupun sampul dari sebagian buku-buku ini terjaga dan jarang ada yang lecek, apalagi sampai robek, tapi debu dikamar ini tetap saja selalu membuat semua buku ini kelihatan tidak terjaga. Makanya, tiap hari harus selalu saya bersihkan atau kalau mau praktis, saya tutupkan kain diatasnya biar tidak gampang berdebu.
Tidak terasa jumlah buku ini sudah banyak sekali. Saya gak pernah hitung sih. Tapi, kalau diingat-ingat lagi sejak saya pertama kalinya serius untuk mulai suka dengan buku, mungkin waktu itu saya kelas 1 SMP. Awalnya saya tertarik dengan komik serial cantik. Yang jepang gitu. Cerita-cerita cinta yang..yah tokohnya sama alurnya gak sinkron. Ceritanya tokohnya itu masih kelas 2 SMP tapi pacarannya kayak kelas 3 SMA. Ceritanya dewasa banget lah. Kebayang dong gimana rusaknya komik-komik jepang jaman dulu. Dan akan lebih rusak kalau dibaca sama anak-anak SMP sekarang. Tapi, gak tau ya kalau komik-komik jepang sekarang kayak gimana. Soalnya udah gak pernah baca komik serial cantik gitu.
Beralih dari komik cantik, gue akhirnya membaca komik Serial Detective Conan. Tau dong ceritanya kayak gimana. Mungkin karena waktu itu gue masih SMP, entahlah, mungkin karena dasarnya gue emang orangnya gak girly banget (maklum, masih labil dan mencari jati diri), jadi gue yang melihat adegan dan trik pembunuhan di komik Conan itu seakan menjadi hiburan tersendiri dan semakin lama semakin penasaran dengan ceritanya (sampai sekarang, sampai gue umur 20 tahun!). Kalau dilihat dari sudut pandang kita para pembaca berumur 17 tahun keatas, komik Conan ini, menurut gue juga ya, komik Conan ini masih belum tepat dijadikan bahan bacaan untuk anak SMP (kayak gue dulu itu). Banyak adegan violance dan kadang muncul gambar-gambar yang gak perlu dilihat sama mereka. Apalagi buat anak-anak sekarang, tau dong gimana berkembangnya mindset generasi sekarang. Anak SD aja udah berani pamer pacar di Path. Gue aja belum punya.
Karena interval waktu serial Conan ini dulu cukup lama dan gue waktu itu belum bisa beli sendiri karena keterbatasan materi (baca: uang jajan), maka untuk mengisi kekosongan itu, maka jadilah gue mencoba membaca novel, hasil dari pinjaman sana sini. Waktu itu masih kelas 3 SMP, dan novel remaja pertama yang gue baca adalah: Fairish. Itu lho cerita tentang seorang cewek, namanya Fairish, cewek yang biasa-biasa aja HTS-an sama seorang cowok populer di SMA bernama Davi, sebagai dalih biar cewek-cewek centil disekolah mereka tidak ngerubutin si Cowok ini. Awalnya, Davi fikir dia bakal biasa-biasa aja dan gak tertarik dengan Irish, sampai pada suatu hari ada cowok yang membuat Irish terpikat dan Davi sadar dia sendiri gak rela kalau Irish suka sama cowok lain. Sounds classic. But, sounds romantic lho waktu jamannya. Gue juga dulu cuma dipinjamin sama kakak sepupu. Dia dulu waktu itu udah kelas 3 SMA sih. Dia punya beberapa novel. Mulai dari Fairish, Dealova, dan teenlit lainnya. Karena gue waktu itu gampang dibodohin dan suka banget dengan kisah romansa ala teenlit waktu itu, maka jadilah gue beralih lagi ke novel-novel sejenis Teenlit.
Masuk SMA, gue semakin sering baca Teenlit. Gue juga semakin dikelilingi dengan lingkungan teman-teman yang bergelora dan semangat dalam hal cinta. Dua kombinasi ini membuat gue semakin terbawa arus dan kadang berangan-angan tentang hal romantis lainnya. Layaknya di buku Teenlit. Kata Chrisye sih, tiada masa paling indah..masa-masa disekolah. Tiada kisah paling indah..kisah kasih disekolah. Semakin lama, semakin gue hidup di SMA, gue akhirnya sadar. Hidup bukan novel Teenlit. Gak seindah kisah senior cowok terganteng di SMA yang naksir kita. Atau kisah cinta berbalas lainnya. Tersadar kalau kisah cerita hidup kita sendiri gak pernah mudah ketebak. Karena bukan kita yang menulisnya. Gak seperti novel, yang alurnya bahkan endingnya saja sudah bisa kita tebak dengan gampang, hanya dengan membaca sinopsisnya.
Bosen karena cerita Teenlit banyak yang predictable, juga bosen berangan-angan hidup di Novel Teenlit, gue akhirnya beralih membaca novel terjemahan, seperti Harry Potter, Serial Twilight, All The Things We Never Said, Charlie si Jenius Dungu. Gue suka takjub sendiri dengan imajinasi that can exist because of a human, kalau udah baca novel-novel karangan orang luar negeri sana, kayak J.K Rowling, Stephanie Meyer, dan lain-lain. Setiap penulisnya, punya karakter cerita masing-masing. Berbeda cerita tapi tetap aja kayak satu tema. Contohnya, si Stephanie Meyer. Lihat aja buku karangannya yang lagi hits banget sekarang. Twilight dan The Host. Kedua ini memang menyajikan cerita berbeda. Tapi, tetap mengemukakan satu tema yaitu cinta beda dunia. Twilight dengan kisah cinta seorang manusia dan vampire. The Host, dengan kisah cinta seorang manusia dengan spesies alien yang bisa hidup didalam badan manusia. Kalau di Indonesia, cinta beda dunia ini pasti udah dijadikan bahan ledekan, disangkanya itu kisah cinta Pocong dan Suster Ngesot. Satunya gak bisa nunduk, satunya gak bisa berdiri. Beda dunia. Appaan..
Seiring dengan banyak kejadian di dalam hidup gue, ini juga mempengaruhi jenis buku yang gue baca. Sampai pada suatu ketika ada suatu kejadian, secara tidak sadar gue membeli buku "Udah Putusin Aja" dari Felix Siauw. Gak bisa berkata apa-apa. This only book could change my whole days. Gak tau apa yang terjadi dengan saya didalam sana, tapi this book could make me decide a very big step. Semacam titik balik. Percaya gak percaya, lo mau nyinyir juga gak apa-apa kok. But, God knows. Maka jadilah gue jadi suka baca buku-buku agama lainnya, lebih bermanfaat dan positif. Gak cuma buku agama, tapi buku-buku motivasi. Seperti buku-buku karya Ahmad Rifa'i Rif'an. Gue suka banget dengan buku-bukunya beliau. Ringan, tapi tepat sasaran. Gak terlalu padat isi, tapi sangat padat ilmu dan motivasinya. You should try to read one. Atau novel-novel cerita seperti karya Tere Liye. Beliau juga adalah salah salah satu penulis favorit gue. Buku-bukunya memang seperti novel, tapi gak sekedar cerita. Tapi, ceritanya selalu punya nilai didalamnya. Selalu terselip pemahaman-pemahaman baik, yang bisa jadi diterapkan di kehidupan nyata.
Rasanya sudah lama juga gue tekun membaca. Dari satu genre buku lain ke buku lainnya. Sekarang aja, gue lagi suka-sukanya baca buku sci-fi juga, pokoknya udah macem-macem, variatif lah. Ada yang bagus, tapi ada juga yang tidak bagus. Tapi, gak apa-apa. Anggap aja pengalaman. Setidaknya ketika gue nanti sudah menikah, berkeluarga, dan punya keturunan, punya anak, gue tau bagaimana caranya agar mereka senang membaca. Membuat mereka paham betapa pentingnya membaca. Buku seperti apa yang perlu dan tidak perlu mereka baca. Setidaknya gue sudah punya gambaran akan mendidik mereka seperti apa.
Buku-buku itu masih saja bertumpuk di sudut ruangan sana. Kutatap mereka, sambil sesekali menepis debunya. Kertasnya boleh usang, tapi manfaatnya bisa jadi menemani hingga bertahan bertahun-tahun lamanya.
No comments:
Post a Comment