Tuesday, May 5, 2015

Pernikahan Bukan Sebuah Dongeng

Dan akhirnya, topik tulisan hari ini tentang pernikahan. Lagi-lagi soal cinta. Tulisan di blog ini juga sudah beberapa kali memaparkan opini saya perihal momen berharga dan sakral bagi masing-masing orang di dunia ini. Khususnya, para perempuan. Rasanya tidak habis dan tidak bosannya kita membicarakan ini. Apalagi, para perempuan biasanya semangat sekali jika ada forum percakapan membahas tentang hal ini dalam keseharian, di sela-sela kesibukan mungkin. Entah itu menjadi bahan gosip saat jam makan siang di kantor, atau sela-sela saat bertemu dengan ibu-ibu di teras rumah ketika sedang membeli sayur. 

Iya, baik perempuan yang belum menikah maupun yang telah menikah alias sudah bersuami, semangatnya tetap sama. Yang belum menikah biasanya pembicaraannya masih sebatas "Nanti kalau aku menikah, aku..". Masih sebatas angan-angan biasa. Yang sudah menikah, biasanya obrolan diawali dengan "Waktu aku menikah dulu, aku..". Sudah dalam lingkup nostalgia alias mengingat-ingat lagi masa-masa indah waktu menjadi ratu sehari. Betul atau betul? :)

Pernikahan. Berbicara dalam konteks agama, hukumnya jelas dan saya rasa sebagian besar muslim dan muslimah tahu, kalau menikah adalah bagian dari agama dan perlu persiapan yang matang untuk ini. Salah satunya adalah betapa populernya anjuran para muslim dan muslimah untuk menikah di umur muda. Alias nikah muda. Hayo..sudah mulai senyum-senyum kan bacanya? Baru awal lho.. :)

Saya punya banyak teman dan juga kakak yang sudah mendahului saya menikah. Rata-rata dari mereka menikah di usia 21-23 tahun. Kata mereka, menikah muda itu membahagiakan. Kalau lagi bahagia, ada bibir lain yang tersenyum menemani bahagia kita. Kalau lagi sedih, ada genggaman jemari yang menguatkan. Kalau lagi kesepian, ada langkah yang ikut menemani dan berjalan beriringan. Kalau lagi lapar, ada yang menyiapkan makanan. Kalau lagi capek, ada yang mijitin. Dan seseorang ini gak perlu dicari, tapi sudah ada di rumah nungguin kita. Gak perlu lagi galau mau cari dia dimana, atau bahkan karena malah gak tau siapa orangnya. Yah gitulah. Kedengarannya manis, kan?

A : "Kak, habis SMA aku mau menikah deh | Saya : "Emang umurmu berapa?" | "16 tahun, kak" | Emang kamu siap gitu menikah di usia sekarang? Kenapa mau menikah?" | "Iya siap lah. Lagian pacaran kan gak boleh. Menikah aja yang dibolehin, kan? Soalnya aku sayang banget sama dia. Aku gak bisa ninggalin dia" | *hening*

Percakapan saya dengan seseorang ini sepeti yang sudah diilustrasikan diatas bukan fiktif belaka. Dan ketika mendengar jawaban itu, saya hanya bisa terkesima dan tersenyum. Dan percakapan ini membuat saya berfikir lagi. Apakah mindset generasi sekarang jika berbicara mengenai perkara cinta, harus seperti ini? Semoga tidak.

Memang tidak ada yang salah, karena itu artinya si A paham kalau menikah lebih baik daripada mempunyai ikatan tidak jelas dan tidak diakui oleh negara dan agama. Tidak salah jika si A memilih menikah untuk melindungi dirinya dari godaan yang lebih besar lagi. Sungguh tidak ada yang salah dengan niat kita untuk menikah muda. Saya pun juga mendambakan hal itu. Atau membahas tentang pernikahan. Selama asumsinya untuk masa depan. 

Tapi, niat si A ini akan menjadi kurang tepat jika menganggap menikah adalah sebagai satu-satunya tujuan hidup. Tanpa memikirkan mimpi yang lain. Memikirkan pendidikan, pekerjaan, dan keluarganya. Memikirkan menikah tapi tanpa mempersiapkan dirinya lahir dan batin. Sehingga, tujuan hanya nikah. Dan yang difikirkan hanya jodoh. Padahal, jodoh itu, insya Allah, sudah ditentukan. Apakah sepadan jika fokus kepada satu hal saja, tapi hal penting lainnya malah terabaikan? Menikah adalah bagian lain dalam hidup kita. Sama seperti beribadah, kuliah, sekolah, atau bekerja. 

Saya fikir ini karena gencarnya konten, yang tersebar luas di kalangan generasi zaman sekarang, membahas tentang pernikahan. Apalagi di sosial media. Internet. Teknologi semakin canggih, begitu juga dengan para penggunanya. Pengguna internet berumur remaja jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemakaian mereka dilakukan dengan mandiri, tanpa ada pengawasan dari orang tua atau orang dewasa. Tidak ada seleksi atas informasi yang mereka dapatkan. 

Tidak sedikit akun dakwah di jaringan sosial media membahas tentang cinta. Dan ujung-ujungnya mengerucut dan membahas tentang menikah sebagai tujuan cinta tersebut. Belum lagi, sudah banyak buku, seminar, atau kegiatan lainnya, bernafaskan pernikahan muda berlandaskan agama islam. Malah cenderung diperjualbelikan oleh pihak tertentu. Mereka gak bertanggung jawab atas dampak apa yang kelak akan para pembaca dapatkan ketika mencerna informasi mereka. Gak mikir beberapa dari kita bakal gak bisa makan, tidur gak nyenyak, galau berkepanjangan, hanya karena memikirkan jodoh. 

Tidak salah jika ada yang mendakwahkan tentang ini. Karena bukan dakwahnya yang salah. Hanya saja, jika terlalu intens rasanya kurang baik juga. Kesannya hidup hanya perihal menikah. Tanpa ada pemahaman-pemahaman lainnya. Misalnya, tentang akhlak dalam islam. Jika pembaca sudah tergolong dewasa dan matang secara mental, membaca artikel seputar ini, pasti akan dikritisi juga. Dengan asumsi tujuan mereka adalah untuk masa depan. 

Lantas, bagaimana dengan pembaca muda kita? Tidak sedikit lho dari adik-adik kita yang akan menganggap pernikahan bak cerita dongeng. Indah dan tanpa tangis apalagi patah hati. Yang ada hanya tawa dan kasih sayang. Yang ada hanya mereka akan tinggal seatap, dan bertemu setiap hari. 1 x 24 jam. 7 hari dalam seminggu. Tidak akan terpisahkan. Iya, mereka akan berangan-angan bahwa pernikahan adalah seperti apa yang ada dalam benak mereka itu. Bahagia. Pernikahan ternyata tidak seenteng itu, dik. 

Kita semua sama-sama tahu bahwa pernikahan bukan hanya mempertemukan dua orang. Tapi, keluarganya juga. Kelak ketika kita menikah, orang tua pasangan mu akan menjadi orang tuanya juga. Keluargamu akan menjadi keluarganya juga. Pernikahan tidak hanya sekedar bilang "Will You Marry Me?" sambil bawa cincin dan bunga. Tapi, pernikahan juga perlu persiapan yang tidak sembarangan, baik secara materi dan non-materi. Pernikahan juga tidak hanya sekedar mempertemukan dua hati menjadi satu. Tapi, juga mempertemukan dua orang berkepribadian dan berlatar belakang diri yang bisa jadi, sangat jauh berbeda. Dan perjuangan untuk saling menyatu tidak mudah.

Saya pernah baca buku "Jodoh Dunia Akhirat" oleh trainer Teh Fu (Foezi Citra Cuaca Elmart) dan Kang Canun (Ikhsanun Kamil Pratama). Buku itu bilang perbedaan yang kelihatannya sepele bisa menjadi potensi konflik dalam rumah tangga. Misalnya, masalah sarapan, tidak terbiasa membereskan tempat tidur, atau lainnya. Makanya, banyak pasangan suami-istri banyak bertengkar di awal pernikahan, karena masih dalam proses adaptasi dengan kebiasaan pasangan dalam kesehariannya. Sebaiknya hal-hal ini perlu dikomunikasikan agar pasangan tahu kondisi dan perbedaan kalian seperti apa. Tuh, menikah bukan hanya sekedar jatuh cinta kan? :)

Ada baiknya ketika menyebarkan pemahaman tentang cinta, juga disertakan dengan pemahaman pendukung lainnya. Dengan menggunakan bahasa yang syarat akan penegasan, bukannya manja, merayu dan mendayu-dayu. Itu mah ilmunya gak menguatkan hati, tapi bikin tambah galau. Asli. Hehe. Persepsi orang tentang makna pernikahan selalu berbeda dan berkembang seiring dengan bertambahnya usia dan berkembangnya pola pikir.

Misalnya, pemahaman tentang perbaikan akhlak sebelum bertemu dengan jodoh, tentang persiapan sebelum menikah, kriteria siap menikah seperti apa, atau membahas solusi untuk mereka yang belum siap menikah. Dan bukan malah cerita indah pernikahan saja yang lebih banyak dipaparkan. Ini penting agar para pembaca muda mengerti bahwa pernikahan bukan sebuah dongeng untuk dijadikan satu-satunya tujuan hidup. 

Saya sepakat menikah muda memang baik. Dan kebaikan itu disegerakan. Setiap manusia berhak mempunyai target menikah di umur berapapun. Tapi, pastikan pernikahan itu disiapkan dengan baik, dan terencana. Bukan sebuah keputusan dengan dasar dongeng angan-angan belaka. Menikah bukan tujuan, justru ia bagian dari proses hidup lainnya.

No comments:

Post a Comment

Day 10: Your Bestfriend

Di bangku SD, sahabat saya ada dua orang. Mereka adalah teman sekelas dan teman satu mobil jemputan. Kami bahkan tidak tahu apa itu sahabat....