Kemarin saya sempat menulis tentang sebuah pengingat yang terinspirasi dari sebuah caption di instagram. Isinya kurang lebih adalah dunia hanya main-main dan sementara, tempat singgah untuk ke tempat selanjutnya yang sifatnya lebih selamanya, dan lebih indah atau lebih menyakitkan. Bahwa meski dunia begitu menyilaukan, jangan menjadi alasan untuk mengeksklusifkan diri, buta dengan perubahan. Kita hanya perlu menentukan sikap atas dunia. Sebab, sikap itu akan menentukan apakah dunia akan menjadi amanah pangkal ladang pahala, atau fitnah berujung ladang dosa. Bahwa apa yang kita miliki di dunia ini hanya pinjaman. Tidak ada guna kita besarkan dan banggakan apalagi dicintai melebihi cinta kepada Yang Maha Memiliki. Dia bisa ambil kapan saja, dimana saja. (baca lagi: A Kind Reminder For Me Today)
Dan hari ini, saya sadar. Ada yang Dia sudah ambil tanpa saya sadari. Tanpa saya duga.
Harus saya akui, beberapa hari ini adalah hari-hari terberat untuk saya. Beberapa hari ini, fikiran saya tidak bisa fokus kepada satu hal saja. Ada banyak sekali yang saya fikirkan, dan jujur saja, menjadi beban tersendiri. Lately, saya berfikir "kenapa sehari hanya ada 24 jam?". Really, it was a very greedy question i've ever had in my mind. Egois.
Memang ada tiga hal penting yang saya sedang handle saat ini. Jujur saja, ketiga hal ini terasa seperti tembok besar. Waktu terbatas membuat saya sedikit kewalahan. Salah satunya ada hubungannya dengan menulis. Only God knows how i always dream about it. Tapi rasanya munafik sekali, memimpikan jadi penulis tapi hanya bermimpi. Padahal, ingin menjadi penulis harusnya menulis. Bukan bermimpi. Sayang, saya agak terkendala dibagian ini.
Entah kenapa akhir-akhir ini, saya sulit sekali memenuhi tanggal deadline menulis. Ataupun target sehari. Tiap di depan monitor, ide langsung menguap begitu saja. Blank. Tidak tahu harus menulis apa. Segala macam cara supaya ide itu saya jaga agar tidak hilang, Mulai dari mencatat di buku hingga bawa laptop kemana-mana. Pegang gadget juga jangan harap langsung nulis. Pasti lari nya ke media sosial. Ngecek instagram lah, line lah, path lah, facebook, dan lainnya. Akhirnya, keasikan hingga lupa tujuan awal. Benar kata dia, awalnya akan sulit sekali. Hanya saja saya harus terus mencoba.
Satu hal pula yang saya sadari tentang ini. Mungkin inspirasi itu ikut diambil juga oleh Dia. Karena ide juga itu asalnya dari Allah. Karena siapa lagi yang membukakan pintu fikiran dan hati, untuk melihat sekeliling dengan jelas. Untuk memahamkan hati akan sesuatu. Siapa lagi yang kuasa selain Dia?
Ulang tahun mestinya menjadi momen membahagiakan bagi sebagian orang. Ucapan selamat dari teman-teman. Hadiah dan kue juga turut diberikan oleh beberapa orang terkasih. Dari keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tersayang. Entah sejak saya berulang tahun ke-20, saya malah semakin berhati-hati dengan umur yang semakin hari semakin bertambah hingga setahun lagi. Dan berlanjut, berulang lagi setahun kemudian.
Rasa-rasanya belum ada hal yang begitu berarti dan bermanfaat bagi orang lain yang saya sudah lakukan selama setahun. Apalagi, saya punya mimpi. Dan sampai detik ini rasanya belum maju juga. Walaupun, sempat ada harapan barang hanya sejenak. Lalu, mulai redup lagi. Semangat masih naik-turun. Tapi, tetap tidak membuat mimpi ini padam, hanya redup.
Umur, bak sekeping uang koin, ia punya dua sisi. Satu sisi, umur bisa membuat kita lebih bersyukur. Artinya masih ada detik yang bisa kita gunakan untuk hidup. Untuk melakukan hal-hal baik. Masih ada waktu untuk mempersiapkan bekal sebelum perjalanan panjang. Di sisi lain, umur bisa berarti kalau umur kita sudah bersisa sekian tahun. Proses mempersiapkan diri semakin pendek. Tujuan abadi semakin dekat. Akan menjadi perihal menakutkan bagi sebagian orang yang tahunnya hanya dihabiskan untuk hal sia-sia. Walaupun begitu, momen mengulang tahun tentu tidak melulu harus dirayakan untuk senang-senang, Tapi, lebih kepada momen untuk lebih bersyukur. Lebih aware. Bahwa hidup itu semakin pendek.
No comments:
Post a Comment