Pemuda itu dikenal di seluruh penjuru Arabia sebagai
perampok. Meski masih muda, reputasinya sebagai penjahat kelas sanggup membuat
nyali semua orang ciut. Ia tak kenal ampun dengan korban-korbannya. Siapapun
yang coba-coba melawan ia tak segan membunuhnya.
Suatu ketika, ia tertarik dengan seorang gadis. Karena tak
mampu menahan gejolak hatinya, dia berencana untuk mengendap masuk ke rumah si
Gadis di kala semua penduduk kota terlelap tidur. Namun, belum sempat
melancarkan niat jahatnya, pemuda mendengarkan seorang menyenandungkan ayat
Al-Qur’an,
“Belum tibakah waktunya bagi orang yang beriman untuk secara
khusyu’ mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada
mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima
kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati
mereka menjadi keras. Dan Banyak diantara mereka menjadi orang-orang yang
fasik” (QS. Al-Hadid: 16)
Ia tak pernah merasakan sesuatu yang istimewa dari ayat-ayat
itu. Tapi, malam itu berbeda. Dia merasa hatinya tiba-tiba bergetar, lidahnya
kelu, dan tatapan matanya sejenak kosong. Pelan-pelan ia meraskan sebuah
penyesalan dalam hatinya atas kejahatan yang telah ia lakukan.
Pemuda itupun keluar dari rumah si Gadis. Di salah satu sudut
kota yang sepi, ia tersungkur. Pertama kalinya sejak ia memasuki usia dewasa
dan melanglang buana menebar ketakutan, pemuda itu menangis. Dengan terbata, ia
berbisik lirih “Tentu saja, wahai Pemilik Jiwaku. Telah tiba waktuku untuk
bertobat”
Karena tak ingin seorang pun mengetahuinya terduduk sedih
di kegelapan malam, pemuda itupun kembali ke reruntuhan bangunan tempat ia
biasa bersembunyi. Tak lama berselang, terdengar suara para kafilah dagang
sedang melintasi bangunan itu. Seseorang dari mereka berkata “Kita jalan terus
sampai pagi. Fudhail biasanya menghadang kita di tempat ini”
Perkataan para kafilah itu seperti jarum yang menusuk-nusuk
hati pemuda itu, karena dialah Fudhail, orang yang mereka bicarakan. Tak
seperti malam-malam sebelumnya, sebilah pedang setia menemaninya tetap ia
sarungkan. Getar lembut di hatinya sekali lagi muncul. Pemuda itu merasa bahwa
dia telah melakukan kemaksiatan siang dan malam dan tak sedikitpun orang yang
takut padanya. Para khafilah tadi tetap melanjutkan perjalanan meskipun mereka
tahu kalau si Fudhail, sang perampok berdarah dingin, biasanya menghadang di
tempat tadi.
Lalu, dengan lembut pun Pemuda itu bergumam “Sungguh
tidaklah Allah mengantarkanku pada suara-suara ini melainkan agar aku menyudahi
kejahatanku. Ya Allah, aku bertobat kepada-Mu”
Di sisa usianya, pemuda itu memenuhi tekadnya untuk
bertobat. Bertahun-tahun ia berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan
memperdalam agama, Fudhail kemudian dikenal sebagai seorang ulama besar
berjuluk ‘Abidu Haramain (Hamba yang rajin beribadah di Mekah dan Madinah).
Namanya tetap harum sampai sekarang dan petuah-petuahnya terus dibaca jutaan
umat Islam melalui buku-buku mengutipnya.
Setiap manusia pasti pernah banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat” (HR. Tirmidzi)
(Dari Buku "Open Your Heart, Follow Your Prophet" oleh @teladanrasul)
No comments:
Post a Comment