“Jangan takut tidak memiliki eksistensi dalam lembar sejarah
dunia karena lembar catatan sejarah akhiratmu tidak akan pernah melewatkan
manusia-manusia mulia yang mengikhlaskan diri meniti jalan Tuhan”
Seorang Arab kampung datang kepada Muawiyah bin Abi Sofyan
dengan pakaian yang sangat kumal. Ternyata karena alasan tiu, Muawiyah pun
tidak memedulikan kehadirannya.“Ya Amirul Mukminin,” kata orang Arab Kampung itu. “Bukanlah
pakaian yang mengajak anda berbicara tuan! Yang mengajak tuan bicara adalah
manusia yang berada di dalam pakaian ini.”
Arab Kampung itu kemudian berbicara panjang lebar tentang
berbagai masalah dengan tingkat keilmuan yang tinggi. Tutur kata dan bahasanya
indah. Muawiyah tidak menyangka sebelumnya. Usai berbicara, Arab Kampung itu
keluar dan pergi meninggalkan istana tanpa meminta suatu apapun.
Muawiyah pun berkata,”Aku belum pernah melihat seseorang
yang pada awalnya sama sekali tidak kuhargai, namun pada akhirnya ia begitu
mulia dimataku.”
Lu’lu’ul Maknun. Mungkin banyak dari kita yang tertunduk
malu pada mereka. Ketika banyak dari kita yang memburu popularitas, tidak
terbersit dalam jiwa mereka untuk dikenal banyak orang dan diketahui jasa-jasa
mereka. Mereka tidak tertarik dengan puja-puji dari manusia. Mereka tidak
tertarik untuk dikenal oleh banyak manusia. Layaknya sebuah mutiara yang
tersembunyi. Mereka hanya ingin dikenal sebagai hamba yang mulia oleh Tuhannya.
Hanya merindu untuk segara tidur di atas dipan bertakhtakan emas. Mereka
merindu hidup bersama bidadari-bidadari surga bermata jeli, laksana mutiara
yang tersimpan. Lu’lu’ul Maknun.
Ada lagi kisah lain dalam buku ini yang dipaparkan penulis,
membuat saya sangat malu dan tersentuh. Ada seorang tukang bakso yang memiliki
kebiasaan unik. Setiap menerima uang dari pembelinya, ia menyimpan uang itu di
tiga tempat. Sebagian di laci gerobaknya, sebagian di dompetnya, dan sisanya di
kaleng bekas tempat roti. Ketika ditanya alasannya, jawabannya:
“Uang yang masuk dompet itu,” Penjual bakso itu menjelaskan
alasannya,”adalah hak keluarga dan anak-anak saya. Uang yang di laci itu untuk
infak, zakat, kurban, dan yang sejenisnya. Sedangkan yang dikaleng itu untuk
nyicil biaya naik haji. Insya Allah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk
membayar ongkos naik haji (ONH). Mudah-mudahan ongkos naik haji naiknya tidak
terlalu mahal sehingga saya masih bisa menjangkaunya”
Semoga kita tidak lagi merasa rendah saat berhadapan dengan
orang yang hartanya lebih banyak, gelarnya lebih berderet, atau jabatan dan
popularitasnya lebih tinggi. Karena bagi Allah, bukan ukuran-ukuran semacam itu
yang menjadi tolok ukur kemuliaan manusia.
Semoga mulai saat kini, kita juga tidak mudah menganggap
remeh orang-orang yang dari penampilan fisik mungkin sangat sederhana. Tidak
jarang orang-orang baik lahir dari orang-orang yang sederhana. Mereka tidak
menampakkan kebaikannya. Sebagian mereka menyembunyikan kebaikan yang telah
dilakukan dengan alasan takut riya, takabur, atau ujub. Mereka takut niatnya
untuk berbuat baik terkotori oleh sikap-sikap hati yang salah.
Tugas kita dalam hidup, cukuplah sederhana. Berusahalah untuk menjadi mutiara. Mutiara yang berharga dihadapan Allah. Bukan manusia. Jika rangsangan untuk menampilkan potensi diri dihadapan manusia, dikhawatirkan akan timbul riya, ujub, takabur, dan segala sifat-sifat kotor lainnya, yakinlah, bahwa dihadapan Allah, mutiara tetaplah mutiara. Bukankah mutiara yang berada tersembunyi jauh didasar samudera sekalipun, akan tetap menjadi mutiara?
Semoga di masa yang akan datang lahir generasi-generasi yang
terinspirasi untuk mengabdi tanpa pamrih. Semoga negeri ini bertabur manusia sederhana nan mulia, seperti mereka. Mutiara yang tersimpan.
(Dari Buku "Izrail Bilang, Ini Ramadhan Terakhirku" oleh Ahmad Rifa'i Rif'an)
(Dari Buku "Izrail Bilang, Ini Ramadhan Terakhirku" oleh Ahmad Rifa'i Rif'an)
No comments:
Post a Comment